Menggenggam kesabaran
Posted by Unknown on Rabu, 27 Maret 2013 | 0 komentar
“Sesungguhnya TUHAN bersama orang-orang yang sabar….” Motivasi itu yang selalu terngiang di benakku, menemani setiap langkah dan setiap detik yang kujalani di belantara dunia ini. Aku adalah anak ke dua dari tiga bersaudara yang semuanya wanita, kami terlahir dari keluarga yang tak berada. Bukanlah keluarga yang berfikir mau menu makan apa esok hari, tapi berfikir apa yang bisa dimakan hari ini. Mungkin karena keterbatasan itulah, dalam keluarga kami jarang ada kebersamaan, untuk berbincang-bincang dan bercengkerama di ruang keluarga, bersama-sama makan malam di ruang makan, atau sekedar duduk-duduk di teras rumah. Kami sibuk dengan acara sendiri-sendiri, ayah dan ibu sibuk dengan hari-hari yang penuh perjuangan demi memenuhi kebutuhan keluarga tercinta.
Bertiga, kami tumbuh menjadi gadis remaja yang beranjak dewasa, kata orang kami cantik-cantik, berkulit bersih, kuning langsat, dengan rambut yang panjang hitam dan lebat. Dan mereka juga bilang bahwa adikku yang terakhir, Wulan namanya, dialah yang paling cantik, paling disayang dan dimanja dalam keluargaku. Kami tumbuh bersama, kata orang tua kami, kakak harus mengalah kepada adiknya, sehingga dalam hal apapun aku dan kakak pertamaku hanya sisa dari yang dimiliki Wulan. Di usiaku yang ke 18 tahun, aku dipersunting oleh seorang pemuda yang tampan, kalem dan sepertinya bertanggung jawab. Kedua orang tuaku merestui pernikahanku ini, mungkin harapan mereka agar aku bisa segera mandiri seperti kakak tertuaku yang sudah lebih dulu berumah tangga, dan alasan itulah yang membuat beliau berdua bersegera menikahkanku. Sudah biasa dalam kehidupan di desa, anak gadis akan segera dinikahkan jika ada lelaki yang mempersuntingnya, aku pun tidak keberatan dengan hal itu, dengan harapan keluargaku kelak menjadi keluarga yang bahagia, sakinah mawadah wa rohmah, berkecukupan secara ekonomi dan berlimpah kasih sayang.
Bulan berganti bulan, dan tahun pun bergulir berganti tahun, roda kehidupanku pun tak jua berubah, beban hidup tak kuasa ku tanggung, akhirnya kuputuskan untuk merantau ke negeri singa, aku menjadi TKI di Singapura, meninggalkan suamiku tercinta, yang sebenarnya merasa begitu berat melepaskanku. Lima tahun aku membanting tulang di perantauan, saatnya aku pulang, rasa kangen begitu membuncah didadaku, ingin bersegera menemui suami dan keluargaku tercinta. Menceritakan suka duka selama aku jauh dari mereka, dan melihat mereka juga tersenyum bahagia melihatku membawa hasil jerih payah selama di Singapura. Tapi ternyata, kenyataan tidak sesuai dengan harapanku, Dia sedang menguji kesabaranku, seperti ada api yang membakar hatiku, hidupku serasa hancur, aliran darahku serasa berhenti, ternyata suamiku berselingkuh dengan adikku yang cantik, Wulan, di rumah yang ku bangun dari tetes keringatku… oh Tuhan, apakah aku bisa menanggung ujianMu ini… aku menangis, meratap, adakah kesabaran bisa bersamaku di saat-saat seperti ini, aku serasa tak bisa lagi menggenggamnya, seolah kesabaran itu terhenyak dan pergi dari hatiku. Aku terus menangis, mengamuk, rasa jengkel, benci dendam semua bercampur di hatiku.. begitu teganya adikku dan suamiku, dua orang yang kusayangi itu, mengkhianatiku…Aku hancur..selama dua hari aku mengurung diri di kamar, aku merasa orang-orang disekelilingku begitu jahat, dan mereka pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih menyakitkan bagiku. Kedua orang tuaku bingung, dengan berbagai cara mereka membujukku untuk bercerita, mereka tak bosan merawatku, menyiapkan kebutuhan makan minumku. Dan akhirnya akupun tak kuasa menyimpan aib itu, aku ceritakan semua kepada mereka, dengan di iringi uraian air mata yang tak ada hentinya. Dan walaupun masih begitu terluka, namun hatiku merasa lebih lega, karna dua orang ini.. aku yakin, mereka tak akan menyakitiku…
Keluarga besarku gempar, aku meminta cerai pada suamiku, aku tidak terima, aku tak bisa bersabar lagi, biarlah adikku Wulan yang bersama suamiku, biar aku yang mengalah… aku pasrah.. Tapi tidak kusangka, keluargaku melarang untuk melakukan itu, karena aku adalah istri yang sah dari Mas Wawan, maka Wulan lah yang harus mengalah, dan entahlah akupun tak bisa menolak keputusan keluarga itu, aku kembali ke pelukan suamiku. Esok harinya, kembali rumahku gempar, Wulan pergi dari rumah, sudah kami cari ke semua tempat keluarga dan teman, tapi tak satupun mereka yang mengetahui keberadaan adikku. Mungkin dia belum bisa menerima kenyataan ini. Setelah berusaha sekian lama, kami pun menyerah, semoga Wulan mendapat tempat yang lebih baik, dan sedang berbahagia, semoga ketika dia ingat, akan kembali kepada kami, keluarga yang sangat menyayanginya, itu harapan yang kami pupuk setiap hari.
Betul saja, 8 bulan kemudian, Wulan pulang, tapi ada yang aneh pada dirinya.. Wulan sepertinya berbeda, dia menjadi pemurung, tidak mau menatap mataku, sepertinya dia benci padaku.. dia datang dengan perut yang buncit, katanya dia hamil dan hendak melahirkan, dan itu adalah anak hasil hubungannya dengan Mas Wawan, Ya TUHAN….apa lagi ini?? Luka hatiku yang sudah mulai kering, terbuka kembali dengan kedatangan Wulan, ah biarlah..dia adalah adikku, siapa lagi yang akan merawatnya kalau bukan aku.. aku kembali bersabar…
Tapi keanehan sikap Wulan semakin menjadi, setelah melahirkan, Wulan pergi lagi dari rumah, beberapa tahun kemudian dia pulang, dengan sikapnya yang semakin berbeda, marah-marah, bicara kacau, bahkan terkadang dia mengomel dan mencaci sambil berjalan tak tentu arah. Dan begitu terus berulang kali, sampai akhirnya keluarga kami memutuskan untuk membawanya berkonsultasi ke psikiater. Wulan dirawat di RSJ, selama dirawat kami dibantu para perawat dan tim medis lainnya dan berkat bantuan mereka kami bisa banyak menggali keluhan Wulan, ternyata dia merasa sangat sakit hati dengan Mas Wawan, cintanya yang terlarang, sebetulnya dia sudah berusaha untuk mengelak dari hubungan itu, tapi cintanya malah semakin besar dan membuatnya ingin memiliki Mas Wawan sepenuhnya. Sikap itu adalah bentukan sejak dia kecil bahwa setiap keinginannya pasti terpenuhi, dan kakak-kakaknya yang harus mengalah. Dia berfikir bahwa dirinya lebih cantik, seperti yang orang-orang katakan, dialah yang sepantasnya memiliki Mas Wawan. tapi ternyata keluarga memutuskan akulah yang terus mendampingi Mas Wawan. Dia merasa sangat terpukul..
Selama pelariannya dari rumah, dia berusaha mencintai laki-laki lain, dan selalu saja dia tertarik pada lelaki yang sudah beristri, perasaan lebih dari wanita-wanita lain, keinginan yang pasti terpenuhi, itulah yang membuatnya tak sanggup menerima kejadian ini.. KEJADIAN YANG TAK SESUAI DENGAN HARAPANNYA.. dia tak bisa memiliki Mas Wawan..
Bagaimana dengan aku?? Terkadang muncul di benakku, aku begitu capek dengan kehidupan ini, aku muak, ingin aku berlari dari kenyataan pahit yang kuhadapi, kekecewaan beruntun, pengkhianatan dan bertumpuk masalah kehidupan yang membelitku, mungkin kalau aku mati semua ini akan berakhir… sempat hal itu terpikir olehku..Ah, tidak, itu adalah bujukan setan.. seketika aku tersadar tatkala aku menatap anak kecil tak berdosa disampingku, tatapannya polos, belum bisa menyelami masalah yang dihadapi ibunya, setidaknya itulah aku menurutnya, dia tid
ak tahu atau mungkin belum tahu, karena suatu saat nanti pasti akan ku sampaikan bahwa sebenarnya aku bukanlah ibu kandungnya.
Tuhan masih menyemayamkan rasa sabar dalam hatiku, Dia selalu bersamaku, aku yakin itu… aku selalu menyemangati diriku, aku akan bergantung padaNYA, yang pasti akan selalu menjagaku... sekarang, aku merawat anak hasil hubungan gelap adik dan suamiku, aku mendidiknya dengan penuh kasih sayang, aku bersyukur masih diberikan kesehatan jiwa, bisa melalui semua ujian berat dalam hidup ini. Dan adik ku tersayang, Wulan, akan selalu kujaga, agar jiwanya kembali utuh seperti dulu, aku berusaha menanamkan kesabaran padanya, bahwa “KEINGINAN ITU TAK HARUS TERPENUHI, KARNA TUHAN TAHU YANG TERBAIK BAGI KITA…”( W.I.D.Y)
0 komentar for "Menggenggam kesabaran"