Melongok Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta

Posted by Unknown on Senin, 04 November 2013 | 2 komentar


Berdiri diatas tanah seluas 3.500 m² di Jalan Dr. Rajiman No. 620 Pajang Surakarta, gedung Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta terlihat bersih dan nyaman. Meskipun terbilang cukup lama, namun bangunan panti penampungan para lanjut usia (lansia) atau yang biasa juga disebut dengan panti jompo ini masih terkesan cukup kuat. Bangunannya terbagi menjadi beberapa area, antara lain gedung utama yang berada di depan sebelah kiri digunakan untuk kantor, yaitu ruangan Kepala Panti dan para stafnya. Terpisah oleh halaman, di sisi paling kanan agak menjorok ke depan berdiri rumah Dinas Kepala Panti. Dibelakangnya ada aula cukup luas yang sering dipergunakan untuk berbagai kegiatan. Ada juga bangunan masjid yang digunakan untuk beribadah para lansia yang beragama Islam. Dan, di bagian belakang terdapat kamar-kamar untuk tinggal para penghuni panti ini. Sebanyak kurang lebih 32 kamar dibangun berjajar menjadi beberapa baris terlihat cukup rapi dan bersih. Didepan kamarnya tersambung dengan teras yang biasa dipakai untuk bersantai-santai para lansia yang sedang tidak menjalani aktifitas. Siang itu sekitar pukul 12.30 WIB, Bina Jiwa bertandang ke Panti untuk melakukan wawancara dengan Drs. Suryanto, Kepala Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta saat ini. Beberapa pegawai masih terlihat melaksanakan tugas di meja kerjanya masing-masing. Sedangkan di aula tampak cukup banyak praktikan yang sedang belajar atau sekedar “ngobrol” dengan temannya. Pemerintah mendirikan Panti Wredha ini mempunyai tujuan untuk memberikan pelayanan terhadap para orang tua yang mempunyai nasib kurang beruntung, atau bisa disebut terlantar. Panti ini pun mempunyai visi “Memberikan kesejahteraan sosial terhadap lanjut usia yang terlantar”. Memang hampir semua penghuni di panti ini adalah para lansia yang mengalami penelantaran oleh keluarganya. Sebagian masih memiliki anak atau keluarga dan sebagian lagi sudah sebatang kara alias sudah tidak diketahui siapa keluarganya. Pada awal perbincangan, Drs. Suryanto banyak bercerita tentang awal mula adanya Panti Wredha satu-satunya milik pemerintah yang ada di kota Solo ini. Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta yang berlokasi di Pajang, tepatnya disebelah barat Pompa Bensin Jongke ini pada tahun 1921 bernama “Wangkung”. Tempat ini dipergunakan untuk menampung orang-orang Keraton Surakarta yang tidak mampu. Kemudian pada tahun 1942 kewenangan keraton dialihkan ke Pemerintah Kota Surakarta, dalam hal ini Dinas Sosial, dan bergantilah namanya menjadi “Panti Karya Pamardi Karya” yang mempunyai fungsi menjadi tempat menampung orang-orang gelandangan. Selanjutnya dengan dasar Surat Perintah Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah tertanggal 3 September 1977, dilakukan perubahan kembali baik nama maupun fungsinya. Panti ini dikhususkan untuk menampung orang-orang lanjut usia atau jompo yang terlantar. Dengan begitu namanya pun berubah menjadi “Panti Wredha Dharma Bhakti”. Pada waktu sekarang ini Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta mempunyai kapasitas atau daya tampung untuk 100 orang. Dan saat ini telah terisi sebanyak 95 orang lansia. “Mereka adalah lansia penduduk kota Solo” demikian kata Drs. Suryanto yang kesehariannya disapa Pak Sur ini. “Memang Panti ini diperuntukkan masyarakat Solo, akan tetapi kita juga tidak bisa menolak jika ada lansia terlantar yang ditemukan oleh masyarakat atau petugas di jalan atau tempat lain di Solo dan dia tidak diketahui alamatnya secara pasti” demikian lanjut pria yang sudah lama mengabdi di lingkup Dinas Sosial ini. Yang seperti itu juga akan diterima dan ditampung di Panti yang dipimpinnya. Memang benar, saat Bina Jiwa menyempatkan berbincang dengan beberapa penghuni panti siang itu, ada lansia yang ternyata berasal dari Wonogiri dan Karanganyar. Ketika dimintai keterangan lebih lanjut tentang lansia seperti apa yang boleh tinggal di Panti, secara rinci Pak Sur memberikan penjelasan berkaitan dengan persyaratan dan prosedur dalam penerimaan lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta . Dari faktor usia ada batasan minimal 60 tahun. Sedangkan kriteria dari ‘terlantar’ itu sendiri kurang lebih adalah bahwa lansia tersebut tidak mempunyai penghasilan yang menetap untuk kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari, tidak memiliki sanak keluarga atau kalaupun memiliki mereka tidak mau “ngopeni”. Sedikit ironis memang, apabila lansia masih memiliki anak namun mereka malah menitipkan orang tuanya ke Panti Wredha. Namun, menurut Drs. Suryanto kejadian seperti itu tidak sedikit jumlahnya. Bahkan, si orang tua sendiri merasa lebih nyaman dan memilih tinggal di Panti daripada di rumah anaknya. Syarat lainnya adalah lansia harus dalam kondisi sehat dan tidak sakit. Sehat meliputi jasmani maupun rohani. Kalau dalam kondisi sakit keluarga harus mengobatkan sehingga sembuh terlebih dahulu. Hal ini tentu berbeda jika lansia sudah masuk Panti dan kemudian sakit, maka pihak Panti akan mengobatkan ke dokter atau ke rumah sakit. Selain itu calon penghuni harus mampu mandiri. Yang dimaksud mandiri adalah lansia harus dapat menjalankan aktifitas sehari-hari dengan sendiri, tidak bergantung pertolongan petugas atau lansia yang lain. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka setiap pendaftar tidak akan langsung diterima begitu saja. Melainkan ada tahap seleksi dan survei terlebih dahulu. Jika persyaratan administrasi sudah lengkap, petugas dari Panti akan melakukan survei ke tempat tinggalnya untuk memastikan apakah dia benar-benar terlantar sehingga layak untuk dititipkan. Secara administrasi keluarga atau masyarakat (jika lansia tidak mempunyai keluarga) harus menyerahkan Surat Keterangan dari Kalurahan yang diketahui sampai dengan Camat yang menerangkan bahwa dia benar-benar penduduk di wilayahnya dan tidak mampu. Juga perlu dilampirkan Surat Keterangan sehat dari dokter, surat rekomendasi dari Dinas Sosial serta menyerahkan foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar. Bagi para lansia penghuni panti, tinggal di Panti Wredha seperti ini katanya lebih enak dibandingkan terlantar di jalan atau tinggal di dalam keluarga yang tidak harmonis apalagi serba kekurangan. Hal itu diakui oleh Bp. Marto, 72 tahun, yang sempat berbincang-bincang dengan Bina Jiwa. “Remen bu, teng mriki opo-opo dicukupi”( Senang bu, di sini apa-apa dipenuhi ) demikian ungkap Pak Marto. Menurutnya, dia merasa kerasan dan senang. Selain kebutuhan terpenuhi, dia juga mempunyai banyak teman sebaya usianya sehingga tidak merasa kesepian. Beberapa kegiatan yang diadakan Panti sering dia ikuti, misalnya olah raga bersama, pemeriksaan kesehatan dan pengajian seperti yang baru saja dia ikuti tadi pagi. Kalau ingin hiburan juga ada televisi yang bisa dilihat bersama-sama penghuni lain. Dan yang membuat dia lebih tenang, dia masih mendapatkan perhatian dari keluarganya. Dia memiliki anak yang masih rutin mengunjunginya. Memang untuk para penghuni yang masih memiliki keluarga, peraturan Panti memperbolehkan keluarga untuk berkunjung. “Tapi, tidak diperkenankan terlalu sering, paling cepat ya 2 minggu sekali” jelas Pak Sur. Dia menyampaikan alasannya mengapa keluarga dilarang terlalu sering berkunjung. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari munculnya kecemburuan dari lansia lain yang tidak mempunyai keluarga . “Otomatis mereka tidak ada yang mengunjungi kan. Yah, menjaga perasaan yang lainlah...” timpalnya. Mengurusi lansia yang berjumlah tidak sedikit seperti di Panti Wredha ini tentu bukan sesuatu pekerjaan yang gampang. Apalagi staf yang dia miliki jumlahnya tidak banyak. Pegawai di Panti Dredha ini sebanyak 8 orang, termasuk dirinya, yang berstatus sebagai PNS dan 6 orang tenaga honorer. Mereka terbagi dalam tugas-tugas untuk mengurusi keuangan, administrasi, rumah tangga, menyiapkan makanan dan bagian kesehatan (tetapi bukan petugas kesehatan). Meskipun dalam keterbatasan, Drs. Suryanto dan stafnya tetap bertekat untuk memberikan pelayanan terbaik untuk membahagiakan para orang tua terlantar yang tinggal di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta. (TATI). Selama 3,5 tahun, tepatnya sejak Desember 2009 Drs. Suryanto, mulai mengabdikan diri di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta. Menjabat sebagai Kepala Panti tidak bisa dibilang ringan. Akan tetapi, dengan pengalaman bekerja di Dinas Sosial sejak tahun 1993 serta berbekal rasa ikhlas dan sabar, Pak Sur, demikian panggilan akrabnya, menjalani semua tugas sehari-hari dengan santai. Ketika diminta menceritakan pengalaman bekerjanya di Panti Wredha atau Panti jompo ini, dia mengungkapkan bahwa semua pekerjaannya biasa-biasa saja, tidak ada problem berarti yang memberatkannya. “Permasalahan orang tua itu unik. Bukan anak-anak saja yang suka bertengkar. Kadang-kadang lansia juga ada yang bertengkar, tidak tertib, ingin semaunya sendiri” katanya sambil tersenyum geli. Diapun melanjutkan “Kalau dirumah merawat orang tua sendiri jumlahnya hanya 2 orang, itu saja kalau usianya sudah cukup lanjut akan merasa gampang-gampang susah. Apalagi disini ada jumlah yang begitu banyak. Makanya bagaimana pandai-pandainya kita “ngemong” mereka.” urainya. Sekali lagi dia menekankan bahwa iklas dan sabar itu adalah modal utama yang harus dimiliki oleh orang yang ingin berhasil merawat lansia, apakah itu di rumah atau di panti. Bapak dua putra yang lahir di Sukoharjo 50 tahun silam ini mempunyai prinsip hidup “nguwongke wong” (memanusiakan manusia). Prinsip hidupnya itu memang sangat relevan dengan tugas kedinasannya sejak di Dinas Sosial hingga saat ini di Panti Wredha. Tetapi, prinsip itupun dia berlakukan juga untuk kehidupan di luar pekerjaan, di rumah dan di masyarakat. “Kalau disuruh menceritakan suka dan dukanya bekerja disini, saya akan lebih senang bercerita tentang sukanya” demikian lanjutnya. “ Kalau sukanya, atau lebih tepat saya bilang hal positif yang bisa didapatkan dengan bekerja di tempat ini yaa...Saya menjadi lebih sayang terhadap orang tua sendiri. Kalau saya bisa menyayangi penghuni Panti ini berarti saya harus bisa menyayangi orang tua lebih dari itu” tambahnya dengan membuat perbandingan. Dan dalam kenyataannya, dia sangat dekat dengan kedua orang tuanya terutama sang ibu. “Kalau ibu saya merasa tidak enak badan, yang dicari untuk “ngeroki” adalah saya, meskipun ada juga kakak yang perempuan yang dekat” demikian dia bercerita tentang ibunya. Hikmah lain yang dapat dipetik dari pekerjaan yang digelutinya adalah dapat menumbuhkan kesadaran bahwa pada saatnya nanti dia juga akan menjadi tua. Hal itu memberi motivasi tersendiri baginya agar dapat mendidik kedua puteranya yang saat ini berusia 19 tahun dan 13 tahun itu dengan baik. Bersama dengan seorang wanita dari Purwokerto yang sekarang menjadi istrinya, Pak Sur membesarkan anak-anak dengan limpahan kasih sayang yang tulus. Harapannya, kelak anak-anak juga akan menyayangi orang tuanya dengan ikhlas dan tulus pula.(TATI).

2 komentar for "Melongok Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta"

  1. Unknown says:

    Sy temu seorg ibu yg bernama Harni berasal dr solo tdk ada kelg di Bekasi,sdh 3 th dilingkungan Bojong Menteng Bekasi, sy mhn ada panti yg bs menampung ibu ini spy bs mjd berkat krn kerinduannya balik kampung. Hub sy 081289767776 dg andy salim

Posting Komentar

Klik

  • Serius...
  • Harap tenang ya...
  • Hmmm enaaaak...
  • Harap antri...
  • Tensi saya berapa pak...
  • Ya bu...
  • Asyiiiik...
  • Siap....

Subscription

Silakan Masukkan E-mail Anda untuk mendapatkan Berita terbaru

Tim Redaksi Bina Jiwa

Recent News