RASIONALISASI OBAT HERBAL DALAM DUNIA KEDOKTERAN
Posted by Unknown on Jumat, 01 Juni 2012 | 0 komentar
Sejak zaman dahulu
manusia menggantungkan hidupnya kepada alam, karena alam memberikan berbagai manfaat baik untuk
memenuhi kebutuhan makanan juga obat-obatan. Alam menyediakan tumbuhan, hewan,
dan mineral yang apabila dilakukan identifikasi akan diperoleh bahan alam yang
berkhasiat obat.
Terbukti pada sebuah penemuan catatan lempeng tanah ± 2500 tahun sebelum
Masehi penggunaan tanaman obat telah dilakukan secara kuno di Mesir, bahan yang
digunakan adalah kulit delima, opium, adas manis, madu, ragi, dan minyak jarak.
Kemudian pada 1466 tahun sebelum Masehi Hippocrates menggunakan konium, kayu
manis, hiosiamina, gentiana, dan gom arab, sebagai bahan obat. Selanjutnya
penggunaan bahan alam sebagai obat terus berkembang hingga sekarang.
Jika bahan alam dikumpulkan, dikeringkan, diolah,
diawetkan dan disimpan maka akan diperoleh bahan obat siap pakai yang disebut
simplisia. Apabila simplisia dilakukan uji khasiat, uji toksisitas, dan uji
praklinik untuk menentukan fitofarmaka dan fitomedisin maka bahan ini disebut
obat. Jika dilakukan uji klinik maka akan diperoleh obat jadi.
Serbuk dari simplisia jika diekstraksi dengan metode dan
pemilihan pelarut maka hasilnya disebut ekstrak. Apabila ekstrak diisolasi
dengan pemisahan kromatografi maka hasilnya disebut isolat. Jika isolat
dimurnikan dan diketahui sifat fisika dan kimiawinya maka akan dihasilkan zat
murni. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian analisa identifikasi, karakterisasi,
eludasi struktur, dan spektrofotometri untuk mendapatkan kimia sintetik.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk
mendapatkan zat murni dalam suatu sediaan alam maka dibutuhkan berbagai macam
disiplin ilmu yang saling terkait. Mulai dari ilmu botani dan zoologi,
farmakognosi, biofarmasi, biokimia dan kimia sintesa, kimia organik, sampai
ilmu fitoterapi.
Penelitian obat herbal membutuhkan waktu yang sangat panjang dan biaya yang
besar, mulai dari uji khasiat, kimia fisika, sampai pada uji praklinis dan
klinis untuk mengetahui keamanannya. Tetapi hal ini sebanding dengan manfaat
yang didapat untuk kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
PENGGUNAAN OBAT HERBAL
Dalam Undang-Undang kesehatan nomor 36 tahun 2009, yang
dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik),
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
Obat herbal merupakan bagian dari obat tradisional, akan
tetapi penggunaan bahan lebih didominasi tanaman berkhasiat. Semua bagian
tanaman dapat digunakan sebagai obat, tergantung pada kandungan khasiatnya dan
kebutuhan. Di Indonesia Badan Pengawas Obat dan Makanan bertanggung jawab
terhadap peredaran obat tradisional di masyarakat. Saat ini obat tradisional
yang beredar dibedakan menjadi tiga, antara lain :
A. JAMU ( EMPIRICAL BASED HERBAL MEDICINE )
Jamu
merupakan obat yang diolah secara tradisional, baik dalam bentuk serbuk,
seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bagian tanaman, higienis atau
bebas cemaran, serta digunakan secara tradisional.
Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai dengan klinis, tetapi cukup dibuat dengan berdasarkan pengalaman atau
secara empiris yaitu resep tanaman obat yang memiliki manfaat didapat turun
temurun dari nenek moyang. Contoh produk jamu adalah Lancar Asi, Batugin
Dalam kemasan jamu produsen farmasi
memberikan label atau logo standar lingkaran hijau dengan gambar rangkaian daun
didalamnya.
B. OBAT HERBAL TERSTANDAR ( SCIENTIFIC BASED HERBAL MEDICINE )
Obat Herbal Terstandar adalah obat
tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat
berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini
membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan
tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan
ekstrak.
Selain proses produksi dengan teknologi
maju, jenis ini telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa
penelitian-penelitian pra-klinik (uji pada hewan) dengan mengikuti standar
kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar
pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun
kronis. Contoh produk obat herbal terstandar adalah Diapet, Tolak Angin Cair
Logo standar Obat Herbal Terstandar berupa
lingkaran hijau dengan gambar ekstrak kristal didalamnya.
C. FITOFARMAKA (CLINICAL BASED HERBAL
MEDICINE)
Fitofarmaka adalah obat tradisional dari
bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya
yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik
pada manusia dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah, protokol uji yang telah
disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat uji memenuhi
syarat. Contoh produk fitofarmaka adalah
Stimuno, Hepagard, Tensigard
Logo standar untuk Fitofarmaka berupa
lingkaran berwarna hijau dengan enam garis melintang didalamnya.
Adanya uji klinis akan lebih meyakinkan profesi medis untuk menggunakan obat herbal
di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan
obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah.
Bahan alam yang berasal dari tanaman lebih banyak digunakan sebagai obat
karena tersedia dalam jumlah besar. Tanaman obat sering juga disebut sebagai
obat herbal. Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara yang mempunyai keajaiban
keanekaragaman hayati. Maka dari itu penggunaan obat herbal di Indonesia
berkembang semakin pesat.
Penggunaan obat herbal dari pengalaman secara empiris kini telah bergeser
menuju kepada pengembangan fitofarmaka yang dapat digunakan di semua pelayanan
kesehatan secara formal dan legal, sesuai dengan pemenuhan prosedur ilmiah yang
berlaku. Maka sudah menjadi syarat utama jika obat herbal yang dapat digunakan
sebagai fitoterapi harus memenuhi berbagai macam persyaratan ilmiah.
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang
telah memenuhi persyaratan yang berlaku (Permenkes, 1982). Penerapan
fitofarmaka sebagai pengobatan disebut fitoterapi.
Dalam sebuah kolom majalah kesehatan, Prof. Dr. Sidik, beliau seorang pakar
fitomedisin Indonesia, mengemukakan bahwa penelitian tanaman obat secara umum
bertujuan untuk mengetahui khasiatnya, sehingga dapat mendorong penelitian
penemuan obat baru dan fitofarmaka. Di Indonesia penelitian tanaman obat
terutama bertujuan :
1. Meningkatkan kualitas dan keamanan obat
tradisional
2
. Meningkatkan mutu simplisia
3. Ekstraksi, isolasi dan identifikasi secara
bioaktif dan mengembangkannya menjadi sediaan obat yang dapat dimanfaatkan
menjadi sediaan obat yang dapat dimanfaatkan dalam sistem kesehatan formal,
baik sebagai fitofarmaka maupun sebagai sumber senyawa murni.
Saat ini banyak negara maju melakukan berbagai macam
penelitian ilmiah dilakukan untuk mengidentifikasi suatu senyawa tanaman, akan
tetapi setiap penelitian harus sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik
Obat Tradisional yang berlaku disetiap negara. Pemerintah Indonesia juga
mendorong upaya penelitian tanaman herbal sehingga dapat mengembangkan dunia
kedokteran.
Obat herbal yang telah menjadi Fitofarmaka harus memenuhi persyaratan
fitokimiawi, adanya bukti manfaat klinik (efficacy) obat, keamanan (safety),
dan syarat lain yang telah ditetapkan. (Sidik, 2002)
Fitofarmaka dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses
pembuatannya yang telah distandarisasi serta ditunjang oleh bukti ilmiah sampai
dengan uji klinis pada manusia. (Sukmono, 2009)
RASIONALISASI OBAT HERBAL
Penggunaan obat herbal dalam dunia kedokteran semakin
terlihat nyata, produsen dan peneliti kefarmasian semakin bersemangat untuk
menemukan khasiat dan zat murni obat baru yang berasal dari herbal. Sediaan
obat herbal pun dibuat semakin exclusive dan menarik, sehingga layak jika
digunakan sebagai terapi modern yang tepat sasaran.
Masyarakat dan medis mulai melirik kebaradaan obat herbal karena adanya
kepercayaan obat herbal lebih aman karena telah terbukti kemanannya selama
bertahun-tahun. Selain itu juga disebabkan karena adanya keputusasaan terhadap
penggunaan obat modern yang tidak didapatkan efek yang diinginkan, bahkan tidak
jarang menimbulkan permasalahan yang baru.
Penelitian obat herbal mempunyai peran yang sangat besar
untuk menentukan ketepatan penggunaan suatu sediaan. Hasil uji penelitian
merupakan bukti ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar terapi. Meskipun
demikian sebelum memberikan terapi herbal sebaiknya dokter meresepkan dengan
beberapa pertimbangan.
Berdasarkan fungsinya tujuan terapi herbal dibagi menjadi dua, yaitu :
1. TERAPI
KOMPLEMENTER
Terapi komplementer merupakan terapi herbal
yang digunakan sebagai terapi penyerta yang mendukung terapi primer, tanpa
mengubah fungsi obat kimia sebagai terapi utama pasien. Biasanya digunakan
untuk terapi yang membutuhkan tambahan obat untuk tercapai hasil yang
diharapkan.
Dibawah adalah beberapa macam kasus
penggunaan obat herbal sebagai komplementer :
a. Pada pasien yang menderita typhus,
sebagai terapi primer tetap diberikan antibiotik Cotrimoxazole tetapi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh dapat dikombinasikan dengan Stimuno® sehingga
kondisi pasien segera membaik.
2. TERAPI ALTERNATIF
Terapi alternatif merupakan terapi herbal
yang digunakan sebagai pengganti terapi primer. Biasanya sering digunakan untuk
mengatasi gangguan penyakit kronis.
Dibawah
adalah beberapa macam kasus penggunaan obat herbal sebagai alternatif :
- Pada pasien dengan hipertensi yang sudah tidak dapat ditoleransi dengan menggunakan Captopril atau antihipertensi lainnya, ternyata memberikan perubahan penurunan tekanan darah yang signifikan setelah diberikan Tensigard®.
Pada akhirnya dari berbagai macam pengalaman dan
penelitian dapat difahami bahwa obat herbal
secara signifikan semakin memberikan manfaat dalam dunia pengobatan.
Obat herbal tidak lagi dianggap sebelah mata sebagai obat kuno, tetapi mampu
disejajarkan dengan obat modern. Perlu dukungan dari berbagai pihak agar terapi
herbal dapat dikembangkan sebagai warisan kekayaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sidik. 2002. Fitofarmaka dan Hak atas Intelektual. Kolom Farmacia.
Jakarta: Penerbit Amythas Publicita.
Sukmono,R.J. 2009. Mengatasi Aneka Penyakit dengan Terapi Herbal.
Cetakan pertama. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Tim Penyusun Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1985. Farmakognosi.
Jakarta: Departemen Kesehatan Indonesia.
0 komentar for "RASIONALISASI OBAT HERBAL DALAM DUNIA KEDOKTERAN"