Bilamana Depresi ...

Posted by Unknown on Minggu, 16 September 2012 | 1 komentar



Dalam kehidupan ini, semua orang pasti pernah mengalami perasaan negatif dalam dirinya. Merasa galau, sedih dan kecewa setelah mengalami kegagalan, perpisahan, atau kehilangan adalah hal yang wajar. Perasaan itu menjadi tidak wajar bila perasaan tersebut terus menerus muncul, tak dapat kita atasi dan mulai mengganggu kegiatan sehari-hari kita, pekerjaan, pola makan, tidur bahkan hubungan sosial kita.
 Keadaan seperti itulah yang menjadi karakteristik depresi. Pengalaman yang muncul dari kondisi negatif dalam hidup apabila di manage dengan baik, dapat memberikan keberanian dan kemauan untuk mengubah hidup kita serta kekuatan untuk menghadapi perasaan negatif lainnya di masa yang akan datang. Maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengatasi perasaan negatif itu agar tak berlarut – larut.
Pengalaman beberapa orang di bawah ini mungkin dapat memberikan inspirasi dan semangat bagi anda semua, baik yang sedang mengalami depresi atau pernah mengalami hal yang serupa, mari kita simak bagaimana mereka mengatasi depresinya.

Roni, 21 tahun, mahasiswa
Pengalaman tidak menyenangkan itu terjadi ketika aku gagal naik ke kelas 2 SMP. Malu sekali rasanya. Sedih karena harus mengulang pelajaran bersama adik kelas, iri melihat teman – teman yang naik kelas padahal mereka juga sering nongkrong bareng sepulang sekolah, main PS, game online dan nonton konser bareng. Ya, setelah melihat kenyataan aku harus tinggal kelas, barulah ku sadari bahwa aku terlalu banyak main dan tidak memperhatikan pelajaran di kelas. ...
Sebenarnya sejak semester kedua orang tuaku telah berusaha mengantisipasi kemalasan belajarku dengan cara mendaftarkanku di sebuah tempat les yang cukup ternama, tapi dasarnya ndableg (keras kepala-red), aku jarang sekali berangkat les. Bagiku main PS jauh lebih menyenangkan daripada harus berkutat dengan tulisan dan angka – angka itu.
Aku masih ingat bagaimana aku menjadi anti sosial selama 5 hari sejak hari pembagian rapor. Rasanya malas sekali keluar dari rumah, bahkan keluar dari kamar. Aku tidak berani bertemu kedua orang tuaku, malas bertemu adik – adikku apalagi teman – temanku. Selama itu aku hanya tidur dan mengurung diri di dalam kamar. Kalaupun terpaksa keluar hanya saat ingin buang air atau mandi. Aku merasa sangat bersalah pada orang tuaku, aku kesal pada diriku, kesal pada teman – temanku, dan aku merasa benci pada mereka. Mengapa mereka semua bisa berhasil naik kelas, sedangkan aku tidak??. Aku juga khawatir dan malu, bagaimana aku bisa masuk sekolah besok, bagaimana bila teman – teman mengejekku, merendahkanku. Bagaimana aku sanggup menampakkan wajahku di depan Tia, gebetanku. Pikiran itu terus berkecamuk menggangguku, dan membuat pusing, maka untuk menghindari perasaan itu, aku tidur sepanjang hari. Aku bahkan tidak menyentuh PS di kamarku sama sekali.
Sejak hari pembagian rapor itu, orang tuaku tidak mengajak bicara sama sekali selama 3 hari dan hal itu membuatku semakin kesal. Perubahan mulai terjadi ketika pada hari ke empat ibu masuk ke kamarku. Saat itu aku pura – pura tidur. Beliau membelai rambutku sambil berkata “ Ya Allah, qodarkanlah yang terbaik untuk anakku ini” lalu pergi. Tes…mendengar doa ibu, aku tak kuasa menahan air mata. Perasaan kesal pada orang tuaku menghilang begitu saja. Aku sadar, musibah ini adalah kesalahanku sendiri, tak sepatutnya aku menyalahkan orang lain, aah…aku semakin malu menghadapi dunia.
            Sorenya ayah dan ibu ku memintaku keluar kamar. Amarahku, kekesalanku berubah menjadi perasaan bersalah yang amat sangat, aku tak berani menatap mereka. Aku siap untuk menerima luapan kemarahan ayah, atau menyaksikan tangisan ibu. Ternyata ayah tidak marah, beliau mengajakku untuk berfikir, merenungi dan menyadari kesalahanku, kedua orang tuaku berkata mereka mencintaiku, dan aku harus lebih mencintai diriku sendiri. Ibu menasehati tentang musibah dan ujian, ayah menasehatiku untuk tetap sabar dan kembali semangat. Mereka berkata kalau mereka sengaja tidak mengajakku bicara belakangan ini, agar aku menyadari kesalahanku dan mau mengubahnya. Aku pun meminta maaf pada mereka, aku ingat aku menangis saat itu, adik – adikku melihatnya, tapi aku tidak perduli.
Setelah pembicaraan itu aku merasa lega. Aku masih merasa malas keluar kamar, tapi aku jadi rajin sholat dan berdoa. aku mulai menyusun rencana belajar dan membuat daftar kegiatan untuk setahun ke depan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bisa naik kelas tahun depan. Alhamdulillah aku bisa melewati masa itu. Aku tidak pernah tinggal kelas lagi, bahkan aku menjadi juara kelas. Yang menjadi pemicu semangatku adalah ketidakinginanku di anggap remeh dan bodoh oleh teman sekelasku yang notabene lebih muda dariku. Dengan dukungan dari orang tua, aku bisa melewati masa sulit itu.

Sutrisno, 45 tahun, pedagang batik
            Aku pernah mengalami masa – masa sulit dalam menjalankan usaha. Ada satu peristiwa saat aku merasa benar – benar terpuruk, lemah, tak bersemangat dan putus harapan. Ketika itu, aku baru mulai merintis usaha ini dengan modal yang aku pinjam dari orang tuaku. Semua berjalan cukup lancar, aku mendapatkan keuntungan yang lumayan dan masih bisa menyisihkan sedikit uang untuk mengangsur pinjaman modalku.
            Masalah mulai muncul saat teman yang berjualan di sebelah lapakku mengajak aku untuk ikut bisnis pengadaan seragam batik siswa SMP di Semarang. Salah seorang pejabat pemkot yang menawarinya ikut dalam proyek, tapi harus menanamkan investasi 10 juta bila ingin ikut tender ini. Ia pun menceritakan kalkulasi tentang keuntungan yang akan di dapat bila bisa ikut tender ini. Tertarik dengan keuntungan yang dijanjikan, maka akupun berusaha mencari dana untuk ikut investasi.
Singkat cerita, ternyata investasi itu hanya fiktif, uangku lenyap sudah. Dalam keadaan depresi yang cukup berat, untungnya aku masih mendapat dukungan dari istri tercinta. Sejak peristiwa itu kami sering introspeksi diri, saling menguatkan, memperbanyak ibadah bersama dan mendengarkan ceramah – ceramah agama. Salah satu isi ceramah yang sangat mengena pada diri saya adalah “Mengapa merasa nikmat yang Allah berikan tidak pantas kita syukuri?, kita terlalu banyak mengeluh, sehingga nikmat Allah itu menjadi tak berarti di mata kita.”
Maka sejak itu, aku membiasakan mengucpakan Alhamdulillah di setiap aktivitas. Berusaha menghayati setiap nikmat yang Allah berikan dan tetap berbagi dengan sesama, sedikit apapun yang aku punya. Dengan keyakinan seperti itu, lama kelamaan semangat usahaku bangkit kembali, aku pun bisa keluar dari perasaan mengasihani diri sendiri, terpuruk dan putus asa.

Bella, 16 tahun, Pelajar

Aku pernah mengalami perasaan kecewa yang amat sangat, sedih sampai ngga’ mau keluar rumah, mogok sekolah, makan banyak, dan nangis terus. Yaitu ketika pacar pertamaku memutuskan hubungan begitu saja. Ternyata dia malah jadian sama tetanggaku yang aku kenalkan padanya waktu datang ke rumah. Untungnya aku mogok sekolah cuma dua hari, jadi tidak terlalu banyak ketinggalan pelajaran.
Saat masa galau – galaunya itu, aku banyak dengerin lagu yang aku pikir bisa ningkatin mood ku, lagu – lagu yang isinya “I’m better of without you” atau “kau tak pantas untukku”. Aku nyanyi sekeras-kerasnya di kamar. Yang membantuku mengatasi masalah ini adalah sahabatku di sekolah. Ia mau datang ke rumahku, menemaniku, membiarkanku mengeluarkan semua uneg – unegku. Kami bahkan menggunting foto mantan ku itu, meletakkannya di kardus lalu menusuk – nusuknya dengan bolpoint. Rasanya cukup melegakan setelah melakukan hal itu.
Dengan support dari sahabatku, aku jadi semgat lagi berangkat sekolah, semangat lagi buat berteman, dan semangat untuk cari gebetan baru ^_^.
Kalau sekarang sih sudah lupa, karena sekarang aku sudah punya pacar baru. Dia lebih cakep, lebih perhatian dan lebih baik daripada mantanku. Yang lebih membuatku merasa tidak kehilangan mantanku adalah karena aku dengar cerita dari temannya kalau dia tidak suka dengan pacar barunya dan pernah cerita ingin balikan denganku. (hehehe…)

Anita, 28 tahun, ibu rumah tangga
Anak pertamaku lahir prematur, tapi Alhamdulillah sempurna. Keanehan mulai kurasakan ketika umur 3 bulan. Arka tidak tertawa ketika di “kudang”. Ia hanya tertawa bila melihat mainan baling-baling di kamarnya berputar. Semakin besar, Arka semakin aneh. Dia tidak mau melihat mata orang lain ketika di ajak bicara. Dia juga belum bisa bicara padahal sudah berumur tiga tahun. Kata – kata yang sering keluar dari bibirnya hanyalah “hee..heee” ketika melihat benda berputar. Entah itu ban, atau benda bundar lainnya. Ia juga suka menyusun bawang, dan bumbu dapur yang biasa ku gunakan untuk masak menjadi sebuah deretan panjang. Salah seorang teman yang mendengarkan curhatku menyarankan untuk membaca referensi tentang anak autis.           
Ketika menyadari ternyata gejala autis itu mirip dengan perilaku yang ditunjukkan olah anakku, aku shock berat. Aku mengurung diri di kamar, tak kuhiraukan suamiku atau ibuku yang mengetuk pintu kamar, aku menangis sambil mendekap bantal. Ku lampiaskan kemarahanku pada bantal – bantal itu, aku berteriak ke dalamnya dan menggigitinya sampai habis energiku dan aku tertidur. Saat terbangun, aku menjadi merasa malas bertemu dengan anggota keluargaku, akupun enggan bertemu Arka. Selama 3 hari aku tidak menemui Arka bahkan membicarakannya pun tidak. Bila Suami atau ibuku mulai membicarakannya maka aku memilih meninggalkan mereka.
Ibu yang menasehatiku, salah satu ucapan beliau yang memberi semangat padaku adalah “Allah bukannya tidak sayang padamu, justru Allah menitipkan Arka karena Allah tahu kamu mampu, dan Allah ingin meningkatkan derajat surgamu lewat kesabaranmu merawatnya sepenuh hati”
Aku mulai banyak membaca buku, artikel, dan akhir – akhir ini blog tentang orang tua yang memiliki anak seperti Arka. Akupun bergabung dengan komunitas putra kembara, sebuah komunitas yang menampung orang tua sepertiku. Alhamdulillah banyak informasi dan dukungan yang ku dapatkan dari sana. Aku merasa memiliki banyak teman dan tidak sendirian di dunia ini.
Di komunitas itu aku bisa menceritakan tentang keadaan Arka,mengenai perkembangan atau masalah baru yang terjadi padanya. Aku bisa mendapat solusi dari orang tua yang anaknya mengalami hal yang sama, berbagi pengalaman tentang cara mengatasinya, ah setidaknya ada teman yang memahami dan mengalami hal yang serupa, itu menjadi kekuatan tersendiri untukku dalam menghadapi dunia.
Sekarang Arka sudah berumur 5 tahun. Aku menyekolahkannya di salah satu tempat terapi anak berkebutuhan khusus di Semarang. Sembari menunggu Arka belajar dengan terapisnya aku bisa mengobrol dengan orang tua yang mengantar anak mereka juga di sana.
Aku sudah lebih bisa menerima keadaan Arka sekarang, aku menyayanginya dan ingin mengantarkannya ke perkembangan terbaik yang bisa ia capai, aku ingin Arka bisa hidup senormal mungkin dalam keterbatasannya.

Dita, 23 Tahun, karyawati
Masa depresi terakhir yang ku alami adalah ketika duduk di semester 2 saat aku harus mengikuti mata kuliah Gambar tehnik. Sebenarnya aku tidak berminat masuk jurusan tehnik industri. Aku berminat ke psikologi, tapi kedua orang tuaku tidak mengizinkan, jadi ya aku masuk ke jurusan ini dengan terpaksa. Aku tidak suka fisika, matematika, dan aku tidak bisa menggambar. Gambar apapun, bahkan gambar pemandangan dua gunung dengan matahari di tengahnya pun jadi abstrak di tanganku.
Ketika harus menghadapi mata kuliah gambar tehnik, kami mendapat tugas harus menyelesaikan 6 gambar tehnik dalam waktu 4 hari dengan asistensi dari kakak tingkat yang telah ditunjuk. Aku berusaha sekuat tenaga menyelesaikannya. Aku sengaja mengerjakan di ruang keluarga, tidak di kamarku, karena takut ketiduran. Alhamdulillah gambar itu bisa selesai dalam waktu dua hari. Masalah selanjutnya adalah asistensi. Ternyata, setelah dikoreksi oleh kakak tingkat,dua diantaraya salah besar. Dengan entengnya ia mencorat coret gambarku menggunakan spidol. Kesal sekali perasaanku waktu itu. Aku harus mengulangi keduanya. Baiklah, ini berarti lembur sehari lagi. Dengan semangat aku mengerjakannya lagi. Kali ini benar – benar aku tidak beranjak dari meja gambarku. Paling hanya istirahat untuk sholat. Ibu pun sampai menyuapiku, agar aku mau makan.Esoknya aku cari kakak tingkatku untuk asistensi lagi. Dia menyuruhku menunggu di laboratorium. Dua jam ku tunggu, tapi tak kunjung datang, ku coba hubungi, tapi tak ada jawaban. Padahal sore ini gambar harus dikumpulkan ke dosen. Setengah jam sebelum waktu terakhir mengumpulkan, baru dia menghubungiku, menyuruhku untuk datang ke kosnya. Dengan sedikit mengumpat dalam hati, akupun melaju kesana. Sesampainya disana, ia berkata kalau keempat gambarku kemarin yang tidak ia coret ternyata salah juga. Jadi sekarang aku tidak perlu asistensi lagi, tinggal dikumpulkan saja gambarnya. Perkataanya membuat ku hancur. Itu berarti usahaku sia – sia. Karena kalau tidak dapat persetujuan dari asisten, gambar itu tidak akan dikoreksi dosen.
Aduh…lemes banget rasanya. Hasil usahaku, jerih payahku selama 2 hari, tidak tidur, makanpun di suapin, ternyata tidak dihargai sama sekali. Kesal, jengkel, sedih, marah semuanya jadi satu dalam diriku. Aku ngga mau kuliah lagi.
Aku menyalahkan semua orang di rumah, yang bisa kusalahkan. Mulai dari ayah, ibu, adik – adikku, pembantuku. Pokoknya aku meluapkan kemarahanku. Mengapa orang tuaku memaksaku mengambil jurusan ini? Mengapa mereka tak mau mengerti keterbatasanku? Mengapa mereka menyiksaku?
Aku bertekad akan membuat mereka menyesalinya. Aku mogok kuliah, mogok makan, mogok ngaji, mogok bicara pada semua orang di rumah, aku hanya mengurung diri di kamar. Untungnya waktu itu aku ngga mogok sholat.
Ayah dan ibu hanya diam melihat kekesalanku. Mungkin mereka mulai menyadari dan menyesalinya. Mereka berusaha mengajakku bicara, tapi aku selalu menghindar. Dalam setiap doa ku aku minta pada Allah agar orang tuaku mau memahamiku, aku sayang pada mereka, aku juga tahu mereka sayang padaku, dan aku ingin hubungan kami bisa kembali seperti dulu lagi.
 Lima hari sudah aksi mogok ku, aku putuskan untuk membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Alhamdulillah mereka mau menerimanya. Entah datang darimana, waktu itu terucap janji pada orang tuaku untuk tetap melanjutkan kuliahku, padahal mereka mengijinkanku kalau aku mau pindah jurusan. Aku merasa tak tega bila mereka harus kehilangan biaya yang selama ini telah di keluarkan, dan harus menyiapkan biaya ekstra untukku bila aku pindah jurusan.
Akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah, mendapatkan gelar dan pekerjaan walau tidak sesuai dengan kuliahku. Aku tetap tidak suka dengan gambar tehnik, selama kuliah, bila harus menggambar, aku minta bantuan teman – temanku. Untungnya mereka mau.

1 komentar for "Bilamana Depresi ..."

  1. Anonim says:

    Tapi semuanya punya orang disisi mereka yang bisa membangkitakan dan memotivasi. Its not working when you have no one. Where the hell* you get the solution.....

Posting Komentar

Klik

  • Serius...
  • Harap tenang ya...
  • Hmmm enaaaak...
  • Harap antri...
  • Tensi saya berapa pak...
  • Ya bu...
  • Asyiiiik...
  • Siap....

Subscription

Silakan Masukkan E-mail Anda untuk mendapatkan Berita terbaru

Tim Redaksi Bina Jiwa

Recent News