Dalam kehidupan ini, semua orang pasti pernah
mengalami perasaan negatif dalam dirinya. Merasa galau, sedih dan kecewa
setelah mengalami kegagalan, perpisahan, atau kehilangan adalah hal yang wajar.
Perasaan itu menjadi tidak wajar bila perasaan tersebut terus menerus muncul,
tak dapat kita atasi dan mulai mengganggu kegiatan sehari-hari kita, pekerjaan,
pola makan, tidur bahkan hubungan sosial kita.
Keadaan seperti itulah
yang menjadi karakteristik depresi. Pengalaman yang muncul dari kondisi negatif
dalam hidup apabila di manage dengan
baik, dapat memberikan keberanian dan kemauan untuk mengubah hidup kita serta
kekuatan untuk menghadapi
perasaan negatif lainnya di masa yang akan datang. Maka yang harus diperhatikan
adalah bagaimana mengatasi perasaan negatif itu agar tak berlarut – larut.
Pengalaman beberapa orang di bawah ini mungkin
dapat memberikan inspirasi dan semangat bagi anda semua, baik yang sedang
mengalami depresi atau pernah mengalami hal yang serupa, mari kita simak bagaimana
mereka mengatasi depresinya.
Roni, 21
tahun, mahasiswa
Pengalaman tidak
menyenangkan itu terjadi ketika aku gagal naik ke kelas 2 SMP. Malu sekali
rasanya. Sedih karena harus mengulang pelajaran bersama adik kelas, iri melihat
teman – teman yang naik kelas padahal mereka juga sering nongkrong bareng
sepulang sekolah, main PS, game online
dan nonton konser bareng. Ya, setelah melihat kenyataan aku harus tinggal
kelas, barulah ku sadari bahwa aku terlalu banyak main dan tidak memperhatikan
pelajaran di kelas. ...
Sebenarnya sejak
semester kedua orang tuaku telah berusaha mengantisipasi kemalasan belajarku
dengan cara mendaftarkanku di sebuah tempat les yang cukup ternama, tapi
dasarnya ndableg (keras kepala-red),
aku jarang sekali berangkat les. Bagiku main PS jauh lebih menyenangkan
daripada harus berkutat dengan tulisan dan angka – angka itu.
Aku masih ingat
bagaimana aku menjadi anti sosial selama 5 hari sejak hari pembagian rapor. Rasanya
malas sekali keluar dari rumah, bahkan keluar dari kamar. Aku tidak berani
bertemu kedua orang tuaku, malas bertemu adik – adikku apalagi teman – temanku.
Selama itu aku hanya tidur dan mengurung diri di dalam kamar. Kalaupun terpaksa keluar
hanya saat ingin buang air atau mandi. Aku merasa sangat bersalah pada orang
tuaku, aku kesal pada diriku, kesal pada teman – temanku, dan aku merasa benci
pada mereka. Mengapa mereka semua bisa berhasil naik kelas, sedangkan aku tidak??. Aku
juga khawatir dan malu, bagaimana aku bisa masuk sekolah besok, bagaimana bila teman – teman
mengejekku, merendahkanku. Bagaimana aku sanggup menampakkan wajahku di depan
Tia, gebetanku. Pikiran itu terus berkecamuk menggangguku, dan membuat pusing,
maka untuk menghindari perasaan itu, aku tidur sepanjang hari. Aku bahkan tidak
menyentuh PS di kamarku sama sekali.
Sejak hari pembagian
rapor itu, orang tuaku tidak mengajak bicara sama sekali selama 3 hari dan hal
itu membuatku semakin kesal. Perubahan mulai terjadi ketika pada hari ke empat ibu
masuk ke kamarku. Saat itu aku pura – pura tidur. Beliau membelai rambutku
sambil berkata “ Ya Allah, qodarkanlah yang terbaik untuk anakku ini” lalu
pergi. Tes…mendengar
doa ibu, aku tak kuasa menahan air mata. Perasaan kesal pada orang tuaku
menghilang begitu saja. Aku sadar, musibah ini adalah kesalahanku sendiri, tak
sepatutnya aku menyalahkan orang lain, aah…aku semakin malu menghadapi dunia.
Sorenya ayah dan ibu ku
memintaku keluar kamar. Amarahku, kekesalanku berubah menjadi perasaan bersalah
yang amat sangat, aku tak berani menatap mereka. Aku siap untuk menerima luapan
kemarahan ayah, atau menyaksikan tangisan ibu. Ternyata ayah tidak marah,
beliau mengajakku untuk berfikir, merenungi dan menyadari kesalahanku, kedua
orang tuaku berkata mereka mencintaiku, dan aku harus lebih mencintai diriku
sendiri. Ibu menasehati tentang musibah dan ujian, ayah menasehatiku untuk
tetap sabar dan kembali semangat. Mereka berkata kalau mereka sengaja tidak
mengajakku bicara belakangan ini, agar aku menyadari kesalahanku dan mau mengubahnya.
Aku pun meminta maaf pada mereka, aku ingat aku menangis saat itu, adik –
adikku melihatnya, tapi aku tidak perduli.
Setelah pembicaraan itu
aku merasa lega. Aku masih merasa malas keluar kamar, tapi aku jadi rajin
sholat dan berdoa. aku mulai menyusun rencana belajar dan membuat daftar
kegiatan untuk setahun ke depan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk bisa
naik kelas tahun depan. Alhamdulillah aku bisa melewati masa itu. Aku tidak
pernah tinggal kelas lagi, bahkan aku menjadi juara kelas. Yang menjadi pemicu
semangatku adalah ketidakinginanku di anggap remeh dan bodoh oleh teman
sekelasku yang notabene lebih muda dariku. Dengan dukungan dari orang tua, aku
bisa melewati masa sulit itu.
Sutrisno,
45 tahun, pedagang batik
Aku
pernah mengalami masa – masa sulit
dalam menjalankan usaha. Ada satu peristiwa saat aku merasa benar – benar
terpuruk, lemah, tak bersemangat dan putus harapan. Ketika itu, aku baru mulai
merintis usaha ini dengan modal yang aku pinjam dari orang tuaku. Semua
berjalan cukup lancar, aku mendapatkan keuntungan yang lumayan dan masih bisa
menyisihkan sedikit uang untuk mengangsur pinjaman modalku.
Masalah
mulai muncul saat teman yang berjualan di sebelah lapakku mengajak aku untuk
ikut bisnis pengadaan seragam batik siswa SMP di Semarang. Salah seorang pejabat
pemkot yang menawarinya ikut dalam proyek, tapi harus menanamkan investasi 10
juta bila ingin ikut tender ini. Ia pun menceritakan kalkulasi tentang
keuntungan yang akan di dapat bila bisa ikut tender ini. Tertarik dengan
keuntungan yang dijanjikan, maka akupun berusaha mencari dana untuk ikut
investasi.
Singkat cerita, ternyata
investasi itu hanya fiktif, uangku lenyap sudah. Dalam keadaan depresi yang
cukup berat, untungnya aku masih mendapat dukungan dari istri tercinta. Sejak
peristiwa itu kami sering introspeksi diri, saling menguatkan, memperbanyak
ibadah bersama dan mendengarkan ceramah – ceramah agama. Salah satu isi ceramah
yang sangat mengena pada diri saya adalah “Mengapa merasa nikmat yang Allah
berikan tidak pantas kita syukuri?, kita terlalu banyak mengeluh, sehingga
nikmat Allah itu menjadi tak berarti di mata kita.”
Maka sejak itu, aku
membiasakan mengucpakan Alhamdulillah di setiap aktivitas. Berusaha menghayati
setiap nikmat yang Allah berikan dan tetap berbagi dengan sesama, sedikit apapun
yang aku punya. Dengan keyakinan seperti itu, lama kelamaan semangat usahaku
bangkit kembali, aku pun bisa keluar dari perasaan mengasihani diri sendiri,
terpuruk dan putus asa.
Bella, 16
tahun, Pelajar
Aku pernah mengalami perasaan
kecewa yang amat sangat, sedih sampai ngga’ mau keluar rumah, mogok sekolah, makan
banyak, dan nangis terus. Yaitu ketika pacar pertamaku memutuskan hubungan
begitu saja. Ternyata dia malah jadian sama tetanggaku yang aku kenalkan
padanya waktu datang ke rumah. Untungnya aku mogok sekolah cuma dua hari, jadi
tidak terlalu banyak ketinggalan pelajaran.
Saat masa galau – galaunya itu,
aku banyak dengerin lagu yang aku pikir bisa ningkatin mood ku, lagu – lagu
yang isinya “I’m better of without you” atau “kau tak pantas untukku”.
Aku nyanyi sekeras-kerasnya di kamar. Yang membantuku mengatasi masalah ini adalah sahabatku
di sekolah. Ia mau datang ke rumahku, menemaniku, membiarkanku mengeluarkan
semua uneg – unegku. Kami bahkan menggunting foto mantan ku itu, meletakkannya
di kardus lalu menusuk – nusuknya dengan bolpoint. Rasanya cukup melegakan
setelah melakukan hal itu.
Dengan support dari sahabatku,
aku jadi semgat lagi berangkat sekolah, semangat lagi buat berteman, dan
semangat untuk cari gebetan baru ^_^.
Kalau sekarang sih sudah
lupa, karena sekarang aku sudah punya pacar baru. Dia lebih cakep, lebih
perhatian dan lebih baik daripada mantanku. Yang lebih membuatku merasa tidak
kehilangan mantanku adalah karena aku dengar cerita dari temannya kalau dia
tidak suka dengan pacar barunya dan pernah cerita ingin balikan denganku.
(hehehe…)
Anita, 28
tahun, ibu rumah tangga
Anak pertamaku lahir
prematur, tapi Alhamdulillah sempurna. Keanehan mulai kurasakan ketika umur 3 bulan. Arka
tidak tertawa ketika di “kudang”. Ia hanya tertawa bila melihat mainan
baling-baling di kamarnya berputar. Semakin besar, Arka semakin aneh. Dia tidak
mau melihat mata orang lain ketika di ajak bicara. Dia juga belum bisa bicara
padahal sudah berumur tiga tahun. Kata – kata yang sering keluar dari bibirnya
hanyalah “hee..heee” ketika melihat benda berputar. Entah itu ban, atau benda
bundar lainnya. Ia juga suka menyusun bawang, dan bumbu dapur yang biasa ku
gunakan untuk masak menjadi sebuah deretan panjang. Salah seorang teman yang
mendengarkan curhatku menyarankan untuk membaca referensi tentang anak autis.
Ketika menyadari
ternyata gejala autis itu mirip dengan perilaku yang ditunjukkan olah anakku,
aku shock berat. Aku mengurung diri di kamar, tak kuhiraukan suamiku atau ibuku
yang mengetuk pintu kamar, aku menangis sambil mendekap bantal. Ku lampiaskan
kemarahanku pada bantal – bantal itu, aku berteriak ke dalamnya dan
menggigitinya sampai habis energiku dan aku tertidur. Saat terbangun, aku menjadi
merasa malas bertemu dengan anggota keluargaku, akupun enggan bertemu Arka.
Selama 3 hari aku tidak menemui Arka bahkan membicarakannya pun tidak. Bila
Suami atau ibuku mulai membicarakannya maka aku memilih meninggalkan mereka.
Ibu yang menasehatiku,
salah satu ucapan beliau yang memberi semangat padaku adalah “Allah bukannya
tidak sayang padamu, justru Allah
menitipkan Arka karena Allah tahu kamu mampu, dan Allah ingin meningkatkan
derajat surgamu lewat kesabaranmu merawatnya sepenuh hati”
Aku mulai banyak membaca
buku, artikel, dan akhir – akhir ini blog tentang orang tua yang memiliki anak
seperti Arka. Akupun bergabung dengan komunitas putra kembara, sebuah komunitas
yang menampung orang tua sepertiku. Alhamdulillah banyak informasi dan dukungan
yang ku dapatkan dari sana. Aku merasa memiliki banyak teman dan tidak
sendirian di dunia ini.
Di komunitas itu aku
bisa menceritakan tentang keadaan Arka,mengenai perkembangan atau masalah baru
yang terjadi padanya. Aku bisa mendapat solusi dari orang tua yang anaknya
mengalami hal yang sama, berbagi pengalaman tentang cara mengatasinya, ah
setidaknya ada teman yang memahami dan mengalami hal yang serupa, itu menjadi
kekuatan tersendiri untukku dalam menghadapi dunia.
Sekarang Arka sudah
berumur 5 tahun. Aku menyekolahkannya di salah satu tempat terapi anak
berkebutuhan khusus di Semarang. Sembari menunggu Arka belajar dengan
terapisnya aku bisa mengobrol dengan orang tua yang mengantar anak mereka juga
di sana.
Aku sudah lebih bisa
menerima keadaan Arka sekarang, aku menyayanginya dan ingin mengantarkannya ke
perkembangan terbaik yang bisa ia capai, aku ingin Arka bisa hidup senormal
mungkin dalam keterbatasannya.
Dita, 23
Tahun, karyawati
Masa depresi terakhir
yang ku alami adalah ketika duduk di semester 2 saat aku harus mengikuti mata
kuliah Gambar tehnik. Sebenarnya aku tidak berminat masuk jurusan tehnik
industri. Aku berminat ke psikologi, tapi kedua orang tuaku tidak mengizinkan,
jadi ya aku masuk ke jurusan ini dengan terpaksa. Aku tidak suka fisika,
matematika, dan aku tidak bisa menggambar. Gambar apapun, bahkan gambar
pemandangan dua gunung dengan matahari di tengahnya pun jadi abstrak di tanganku.
Ketika harus menghadapi
mata kuliah gambar tehnik, kami mendapat tugas harus menyelesaikan 6 gambar
tehnik dalam waktu 4 hari dengan asistensi dari kakak tingkat yang telah
ditunjuk. Aku berusaha sekuat tenaga menyelesaikannya. Aku sengaja mengerjakan
di ruang keluarga, tidak di kamarku, karena takut ketiduran. Alhamdulillah
gambar itu bisa selesai dalam waktu dua hari. Masalah selanjutnya adalah
asistensi. Ternyata, setelah dikoreksi oleh kakak tingkat,dua diantaraya salah
besar. Dengan entengnya ia mencorat coret gambarku menggunakan spidol. Kesal
sekali perasaanku waktu itu. Aku harus mengulangi keduanya. Baiklah, ini
berarti lembur sehari lagi. Dengan semangat aku mengerjakannya lagi. Kali ini
benar – benar aku tidak beranjak dari meja gambarku. Paling hanya istirahat
untuk sholat. Ibu pun sampai menyuapiku, agar aku mau makan.Esoknya aku cari
kakak tingkatku untuk asistensi lagi. Dia menyuruhku menunggu di laboratorium.
Dua jam ku tunggu, tapi tak kunjung datang, ku coba hubungi, tapi tak ada
jawaban. Padahal sore ini gambar harus dikumpulkan ke dosen. Setengah jam
sebelum waktu terakhir mengumpulkan, baru dia menghubungiku, menyuruhku untuk datang
ke kosnya. Dengan sedikit mengumpat dalam hati, akupun melaju kesana.
Sesampainya disana, ia berkata kalau keempat gambarku kemarin yang tidak ia
coret ternyata salah juga. Jadi sekarang aku tidak perlu asistensi lagi,
tinggal dikumpulkan saja gambarnya. Perkataanya membuat ku hancur. Itu berarti
usahaku sia – sia. Karena kalau tidak dapat persetujuan dari asisten, gambar
itu tidak akan dikoreksi dosen.
Aduh…lemes banget
rasanya. Hasil usahaku, jerih payahku selama 2 hari, tidak tidur, makanpun di
suapin, ternyata tidak dihargai sama sekali. Kesal, jengkel, sedih, marah
semuanya jadi satu dalam diriku. Aku ngga mau kuliah lagi.
Aku menyalahkan semua
orang di rumah, yang bisa kusalahkan. Mulai dari ayah, ibu, adik – adikku,
pembantuku. Pokoknya aku meluapkan kemarahanku. Mengapa orang tuaku memaksaku
mengambil jurusan ini? Mengapa mereka tak mau mengerti keterbatasanku? Mengapa
mereka menyiksaku?
Aku bertekad akan
membuat mereka menyesalinya. Aku mogok kuliah, mogok makan, mogok ngaji, mogok
bicara pada semua orang di rumah, aku hanya mengurung diri di kamar. Untungnya
waktu itu aku ngga mogok sholat.
Ayah dan ibu hanya diam
melihat kekesalanku. Mungkin mereka mulai menyadari dan menyesalinya. Mereka
berusaha mengajakku bicara, tapi aku selalu menghindar. Dalam setiap doa ku aku
minta pada Allah agar orang tuaku mau memahamiku, aku sayang pada mereka, aku
juga tahu mereka sayang padaku, dan aku ingin hubungan kami bisa kembali
seperti dulu lagi.
Lima hari sudah aksi mogok ku, aku putuskan
untuk membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Alhamdulillah mereka mau
menerimanya. Entah datang darimana, waktu itu terucap janji pada orang tuaku
untuk tetap melanjutkan kuliahku, padahal mereka mengijinkanku kalau aku mau
pindah jurusan. Aku merasa tak tega bila mereka harus kehilangan biaya yang
selama ini telah di keluarkan, dan harus menyiapkan biaya ekstra untukku bila
aku pindah jurusan.
Akhirnya aku bisa
menyelesaikan kuliah, mendapatkan gelar dan pekerjaan walau tidak sesuai dengan
kuliahku. Aku tetap tidak suka dengan gambar tehnik, selama kuliah, bila harus
menggambar, aku minta bantuan teman – temanku. Untungnya mereka mau.